Tuesday 11 August 2015

makalah matematika filsafat ilmu

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Sarana Berfikir Ilmiah” yang mengkhususkan pada pembahasan “Matematika”.
         Terselesaikannya pembuatan makalah ini bukanlah karena kepandaian kami saja.Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna baik dalam penyusunan maupun penulisannya. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan tentu bagi kami selaku penulis .








penulis




DAFTAR ISI
HALAM JUDUL..................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A .    Latar belakang............................................................................. 1
B.     Rumus masalah............................................................................ 1
C.     Tujuan.......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................... 2
A.    Matematika.................................................................................. 2
1.       Pengertian Matematika sebagai Bahasa................................ 2
2.      Sifat Kuantitatif Matematika................................................ 3
3.      Matematika Sebagai Sarana Berfikir Deduktif..................... 3
4.      Matematika Sebagai Sarana Berfikir Deduktif..................... 4
B.     Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berfikir
 deduktif ..................................................................................... 5
1.      Aliran dalam matematika....................................................... 5
2.       Perkembangan matematika .................................................. 8
BAB III PENUTUP.............................................................................. 15
A.    Kesimpulan................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 16





BAB I
PENDAHULUAN
A.             Latar Belakang
Perbedaan  utama antara manusia dan binatang terletak pada kemampuan manusia untuk mengambil jalan melingkar dalam mencapai tujuannya.  Seluruh pikiran binatang dipenuhi oleh kebutuhan yang menyebabkan mereka secara langsung mencari objek yang diinginkannya atau membuang benda yang menghalanginya. Seperti contoh seekor monyet yang menjangkau secara sia-sia benda yang diinginkan; sedangkan manusia yang paling primitif pun telah tahu mempergunakan bandringan, laso atau melempar batu.
Sarana ilmiah pada dasanya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Penguasaan sarana ilmiah merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi. Ditinjau dari pola berpikirnya  maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif
B.     Rumusam Masalah
1.      apakah  Pengertian matematika
2.      Matematika dan statistika sebagai sarana bepikir deduktif dan induktif
3.      Karakteristik berpikir deduktif dan induktif
C.    Tujuan Penulisan
1.        Sebagai salah satu tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
2.        Mengetahui bahwa matematika dan statistika merupakan bagian dari sarana berpikir ilmiah
3.        Memahami fungsi matematika dan statistika dalam pandangan Filsafat Ilmu
4.        Sebagai bahan informasi bagi pembaca


BAB II
PEMBAHASAN
A.    MATEMATIKA
1.              Pengertian Matematika sebagai Bahasa
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan.Lambang-lambang matematika bersifat “artificial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya.Tanpa itu matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.Sebagai bahasa, matematika memiliki kelebihan jika dibanding dengan bahasa-bahasa lainnya.Bahasa matematika memiliki makna yang tunggal sehingga suatu kalimat matematika tidak dapat ditafsirkan bermacam-macam. Ketunggalan makna dalam bahasa matematika ini, penulis menyebutnya bahasa matematika sebagai bahasa "internasional", karena komunitas pengguna bahasa matematika adalah bercorak global dan universal di semua negara yang tidak dibatasi oleh suku, agama, bangsa, negara, budaya, ataupun bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Bahasa yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari sering mengandung keraguan makna di dalamnya.Kerancuan makna itu dapat timbul karena tekanan dalam mengucapkannya ataupun karena kata yang digunakan dapat ditafsirkan dalam berbagai arti.
Bahasa matematika berusaha dan berhasil menghindari kerancuan arti, karena setiap kalimat (istilah/variabel) dalam matematika sudah memiliki arti yang tertentu.Ketunggalan arti itu mungkin karena kesepakatan matematikawan atau ditentukan sendiri oleh penulis di awal tulisannya. Orang lain bebas menggunakan istilah/variabel matematika yang mengandung arti berlainan. Namun, ia harus menjelaskan terlebih dahulu di awal pembicaraannya atau tulisannya bagaimana tafsiran yang ia inginkan tentang istilah matematika tersebut. Selanjutnya, ia harus taat dan tunduk menafsirkannya seperti itu selama pembicaraan atau tulisan tersebut.
Matematika adalah bahasa yang berusaha menghilangkan sufat kubur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal.Lambang-lambang dari matematika dibuat secara artificial dan individual yang merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang kita kaji. Suatu obyek yang sedang dikaji dapat disimbolkan dengan apa saja sesuai dengan kesepakatan kita (antara pengirim dan penerima pesan). Kelebihan lain matematika dipandang sebagai bahasa adalah matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Jika kita menggunakan bahasa verbal, maka hanya dapat mengatakan bahwa Si A lebih cantik dari Si B. Apabila kita ingin mengetahui seberapa eksaknya derajat kecantikannya maka dengan bahasa verbal tidak dapat berbuat apa-apa.Terkait dengan kasus ini maka kita harus berpaling ke bahasa matematika, yakni dengan menggunakan bantuan logika fuzzy sehingga dapat diketahui berapa derajat kecantikan seseorang.Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif.Sedangkan matematika memiliki sifat kuantitatif, yakni dapat memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan penyelesaian masalah secara lebih cepat dan cermat.
Matematika memungkinkan suatu ilmu atau permasalahan dapat mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif.Perkembangan ini merupakan suatu hal yang imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan kontrol yang lebih tepat dan cermat dari suatu ilmu.Beberapa disiplin keilmuan, terutama ilmu-ilmu sosial, agak mengalami kesukaran dalam perkembangan yang bersumber pada problem teknis dan pengukuran.Kesukaran ini secara bertahap telah mulai dapat diatasi, dan akhir-akhir ini kita melihat perkembangan yang menggermbiarakan, di mana ilmu-ilmu sosial telah mulai memasuki tahap yang bersifat kuantitaif.Pada dasarnya matematika diperlukan oleh semua disiplin keilmuan untuk meningkatkan daya prediksi dan kontrol dari ilmu tersebut.
2.                Sifat Kuantitatif Matematika
Matematika mampu mengembangkan bahasa numeric yang memungkinkan kita untuk dapat melakukan pengukuran secara kuantitatif.
Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan control dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksakyang memungkinkan pemecahan masalah secara lebuh tepat dan cermat.Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif.Perkembangan ini merupakan suatu hal yang imperative jika kita menghendaki daya prediksi dan kontril yang lebih tepat dan cermat dari ilmu.
3.                Matematika Sebagai Sarana Berfikir Deduktif
Brpikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan pada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan. Secara deduktifmatematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-preis yang tertentu.
Menalar secara induksi dan analogi membutuhkan pengamatan dan bahkan percobaan, untuk memperoleh fakta yang dapat dipakai sebagar dasar argumentasi. Tetapi pancaindera kita adalah terbatas dan tidak teliti. Tambahan lagi, meskipun fakta yang dikumpulkan untuk tujuan induksi dan analogi itu masuk akal namun metode ini tidak memberikan suatu kesimpulan yang tidak dapat dibantah lagi. Umpamanya, meskipun sapi makan rumput dan babi serupa dengan sapi namun adalah tidak benar bahwa babi makan rumput.
Untuk menghindari kesalahan seperti di atas, ahli matematika mempergunakan kerangka berfikir yang lain. Umpamanya dia mempunyai fakta bahwa x – 3 = 7 dan bermaksud untuk mencari nilai x tersebut. Dia melihat bahwa jika angka 3 ditambahkan kepada kedua ruas persamaan tersebut maka dia akan memperoleh bahwa x = 10. Pertanyaannya adalah bolehkah dia melakukan langkah ini ? untuk menjawab hal tersebut maka pertama-tama dia harus mengetahui bahwa sebuah persamaan tidak berubah jika kepada kedua ruas persamaan tersebut ditambahkan nilai yang sama. Hal ini berarti bahwa dengan menambahkan angka 3 kepada kedua belah persamaan tersebut, dia takkan mengubah harga persamaan tadi. Berdasarkan hal ini maka dia berkesimpulan bahwa langkah yang dilakukannya ternyata dapat dipertanggungjawabkan. Cara berfikir yang dilakukan disini adalah deduksi. Seperti pada contoh di atas, dalam semua pemikiran deduktif, maka kesimpulan yang ditarik merupakan konsekuensi logis dari fakta-fakta yang sebelumnya telah diketahui. Disini, seperti juga pada fakta-fakta yang mendasarinya, maka kesimpulan yang ditarik tak usah diragukan lagi.
4.                Karakteristik Berpikir deduktif
Deduksi berasal dari bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum, lawannya induksi Kamus Umum Bahasa Indonesia hal 273 W.J.S.Poerwadarminta. Balai Pustaka 2006)
Deduksi dimulai dengan suatu premis yaitu pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan.Kesimpulannya merupakan implikasi pernyataan dasar itu. Artinya apa yang dikemukakan di dalam kesimpulan secara tersirat telah ada di dalam pernyataan itu. Jadi sebenarnya proses deduksi tidak menghasilkan suatu pengetahuan yang baru, melainkan pernvataan kesimpulan yang konsisten dengan pernyataan dasarnya.
B.                     MATEMATIKA MEMPUNYAI PERANAN YANG PENTING DALAM BERFIKIR DEDUKTIFif
1.                   Aliran dalam matematika
a.             Formalisme
  Formalis seperti David Hilbert (1642 –1943) berpendapat bahwa matematika adalah tidak lebih atau tidak kurang sebagai bahasa matematika. Hal ini disederhanakan sebagai deretan permainan dengan rangkaian tanda –tanda lingistik, seperti huruf-huruf dalam alpabet Bahasa Inggeris. Bilangan dua ditandai oleh beberapa tanda seperti 2, II atau SS0. Pada saat kita membaca kadang-kadang kita memaknai bacaan secara matematika, tetapi sebaliknya istilah matematika tidak memiliki sebarang perluasan makna. Formalis memandang matematika sebagai suatu permainan formal yang tak bermakna (meaningless) dengan tulisan pada kertas, yang mengikuti aturan.
Menurut Ernest (1991) formalis memiliki dua dua tesis, yaitu:
a.       Matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan sebarangan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal.
b.      Keamanan dari sistem formal ini dapat didemostrasikan dengan terbebasnya dari ketidak konsistenan.
Ada bermacam keberatan terhadap formalisme, antara lain;
1.       formalis dalam memahami obyek matematika seperti lingkaran, sebagai sesuatu yang kongkrit, padahal tidak bergantung pada obyek fisik;
2.        formalis tidak dapat menjamin permainan matematika itu konsisten. Keberatan tersebut dijawab formalis bahwa  lingkaran dan yang lainnya adalah obyek yang bersifat material dan meskipun beberapa permainan itu tidak konsisten dan kadang-kadang trivial, tetapi yang lainnya tidak demikian.
b.                       Intuisionisme
Intuisionisme seperti Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat sintetik a priori dimana eksistensi matematika tergantung dari pengindraan. Intuisi matematika murni yang meletakkan pada dasar dari semua kognisi dan penilaian yang muncul sekaligus apodiktis dan diperlukan adalah Ruang dan Waktu, karena matematika harus terlebih dahulu memiliki semua konsep dalam intuisi, dan matematika murni intuisi murni, maka matematika harus membangun mereka. Menurut Kant, Geometri didasarkan pada intuisi murni ruang, dan, aritmatika menyelesaikan konsep angka dengan penambahan berurutan dari unit dalam waktu. Ia menyimpulkan bahwa matematika murni, sebagai kognisi apriori, hanya mungkin dengan mengacu ada benda selain yang indra, di mana, di dasar intuisi empiris mereka terletak sebuah intuisi murni (ruang dan waktu) yang apriori. Kant selanjutnya menyimpulkan bahwa dasar matematika sebenarnya intuisi murni, sedangkan deduksi transendental tentang konsep-konsep ruang dan waktu menjelaskan, pada saat yang sama, kemungkinan matematika murni
L.E.J. Brouwer (1882-1966), berpendapat bahwa matematika suatu kreasi akal budi manusia. Bilangan, seperti cerita bohong adalah hanya entitas mental, tidak akan ada apabila tidak ada akal budi manusia memikirkannya. Selanjutnya intuisionis menyatakan bahwa obyek segala sesuatu termasuk matematika, keberadaannya hanya terdapat pada pikiran kita, sedangkan secara eksternal dianggap tidak ada. Kebenaran pernyataan p tidak diperoleh melalui kaitan dengan obyek realitas, oleh karena itu intusionisme tidak menerima kebenaran logika bahwa yang benar itu p atau bukan p. Intuisionisme mengaku memberikan suatu dasar untuk kebenaran matematika menurut versinya, dengan menurunkannya (secara mental) dari aksima-aksioma intuitif tertentu, penggunaan intuitif merupakan metode yang aman dalam pembuktian. Pandangan ini berdasarkan pengetahuan yang eksklusifpada keyakinan yang subyektif. Tetapi kebenaran absolut (yang diakui diberikan intusionisme) tidak dapat didasarkan pada padangan yang subyektif semata. Ada berbagai macam keberatan terhadap intusionisme, antara lain; (1) intusionisme tidak dapat mempertanggung jawabkan bahwa obyek matematika bebas, jika tidak ada manusia apakah 2 + 2 masih tetap 4; (2) matematisi intusionisme adalah manusi timpang yang buruk dengan menolak hukum logika p atau bukan p dan mengingkari ketakhinggaan, bahwa mereka hanya memiliki sedikit pecahan pada matematika masa kini. Intusionisme, menjawab keberata tersebut seperti berikut; tidak ada dapat diperbuat untuk manusia untuk mencoba membayangkansuatu dunia tanpa manusia; (2) Lebih baik memiliki sejumlah sejumlah kecil matematika yang kokoh dan ajeg dari pada memiliki sejumlah besar matematika yang kebanyakan omong kosong.
c.                       Logisisme
Logisisme memandang bahwa matematika sebagai bagian dari logika. Penganutnya antara lain G. Leibniz, G. Frege (1893), B. Russell (1919), A.N. Whitehead dan R. Carnap(1931). Pengakuan Bertrand Russell menerima logisime adalah yang paling jelas dan dalam rumusan yang sangat ekspilisit. Dua pernyataan penting yang dikemukakannya, yaitu (1) semua konsep matematika secara mutlak dapat disederhanakan pada konsep logika; (2) semua kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma dan aturan melalui penarikan kesimpulan secara logika semata.


 Menurut Ernest (1991), ada beberapa keberatan terhadap logisisme antara lain:
a.         Bahwa pernyataan matematika sebagai impilikasi pernyataan sebelumnya, dengan demikian kebenaran-kebenaran aksioma sebelumnya memerlukan eksplorasi tanpa menyatakan benar atau salah. Hal ini mengarah pada kekeliruan karena tidak semua kebenaran matematika dapat dinyatakan sebagai pernyataan implikasi.
b.         Teorema Ketiddaksempurnaan Godel menyatakan bahwa bukti deduktif tidak cukup untuk mendemonstrasikan semua kebenaran matematika. Oleh karena itu reduksi yang sukses mengenai aksioma matematika melalui logika belum cukup untuik menurunkan semua kebenaran matematika.
c.         Kepastian dan keajegan logika bergantung kepada asumsi-asumsi yang tidak teruji dan tidak dijustifikasi. Program logisis mengurangi kepastian pengetahuan matematika dan merupakan kegagalan prinsip dari logisisme. Logika tidak menyediakan suatu dasar tertentu untuk pengetahuan matematika.

2.                       Perkembangan matematika
Ditinjau dari perkembangannya maka ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap yakni tahap sistematika, komparatif, dan kuantitatif . Pada tahap sistematika maka ilmu mulai menggolong-golongkan objek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu. Pengosongan ini memungkinkan kita untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota yang menjadi kelompok tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum ini merupakan pengetahuan bagi manusia dalam mengenali dunia fisik. Dalam tahap yang kedua ini kita mulai melakukan perbandingan antara objek yang satu dengan objek yang lain, kategori yang satu dengan kategori yang lain, dan seterusnya. Kita mulai mencari hubungan yang didasarkan pada perbandingan antara di berbagai objek yang kita kaji. Tahap selanjutnya adalah tahap kuantitatif dimana kita mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari objek yang sedang kita selidiki. Bahasa verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama, namun pada tahap yang ketiga maka pengetahuan membutuhkan matematika. Lambang-lambang matematika bukan saja jelas namun juga eksak dengan mengandung informasi tentang objek tertentu dalam dimensi-dimensi pengukuran.
Disamping sebagai bahasa maka matematika juga berfungsi sebagai alat pikir . ilmu merupakan pengetahuan yang mendasarkan kepada analisis dalam menarik kesimpulan menurut suatu pola pikir tertentu. Matematika menurut Widgestein, tak lain adalah metode berpikir logis. berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam perspektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika, seperti disimpulkan oleh Bertrand Russell “ matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika.”
Matematika pada garis besarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif. Betrand Russel dan whitead dalam karyanya yang berjudul Principia Matematica mencoba membuktikan bahwa dalil-dalil matematika pada dasarnya adalah pernyataan logika.  Meskipun tidak seluruhnya berhasil Pierre de Fermat (1601-1665)mewariskan teorema yang terakhir yang merupakan teka-teki (enigma) yang menentang pemikir-pemikir matematika dan belum terpecahkan. Dia menyatakan bahwa xn + yn = zn dengan x, y, z dan n adalah bilangan bulat positif yang tidak mempunyai jawaban bila n = 2. Atau dengan perkataan lain hanya bilangan 1 dan 2 yang memenuhi persyaratan ini seperti 31 + 41 = 71 dan 32 + 42 = 52. Fermat sendiri tidak menyertakan pembuktian rumus tersebut yang sampai sekarang tetap tantangan bagi logika deduktif meskipun secara mudah dapat didemonstrasikan kebenarannya.
Tidak semua filsuf setuju dengan pernyataan bahwa matematika adalah pengetahuan yang bersifat deduktif. Immanuel Kant ( l724-1804) berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan sintetik a priori di mana eksistensi matematika tergantung kepada dunia pengetahuan kita. Namun pada dasarnya dewasa ini orang berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat rasional yang kebenarannya tidak tergantung kepada pembuktian secara empiris. Perhitungan matematika bukanlah suatu eksperimen, kata Wittgenstein, sebuah pernyataan matematika tidaklah mengekspresikan produk pikiran (tentang obyek yang faktual). Selanjutnya Wittgenstein membuktikan bahwa 2 x 2 = 4 merupakan suatu proses deduktif. Memang, menurut akal sehat sehari-hari, kebenaran matematika tidak ditentukan oleh perbukitan secara empiris, melainkan kepada proses penalaran deduktif. Jika seseorang memasukkan bebek dua ekor pada pagi hari, kemudian dia memasukkan bebek dua ekor lagi pada siang hari, maka pada malam dia akan mengharapkan jumlah bebek semuanya menjadi empat ekor. Sekiranya pada malam hari dia melakukan “verifikasi” dan jumlahnya hanya tiga ekor, segera dia menyimpulkan ada sesuatu yang salah secara empiris dibandingkan dengan penalaran rasionalnya, sebab apa pun yang terjadi jumlahnya harus empat ekor. Kecuali tentu saja bebeknya ada yang lari lewat kolong rumah; ada pencuri yang datang selagi dia tidur; atau ada bebek yang bersembunyi demikian juga jika bebek-bebek itu beberapa bulan kemudian tidak lagi empat melainkan lima maka masalah itu bukan lagi termasuk matematika melainkan ilmu berternak bebek dan sebangainya.
Disamping sarana berpikir deduktif yang merupakan aspek estetik, matematika juga  merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Semua masalah kehidupan yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti mau tidak mau harus berpaling kepada matematika. Dan rnempelajari bintang-bintang di langit sampai mengukur panjang papan untuk membuat rumah orang memerlukan pengukuran dan perhitungan matematik, Dalam perkembangannya maka kedua aspek estetik dan pragmatis  dari matematika ini silih berganti mendapatkan perhatian terutama dikaitkan dengan kegiatan pendidikan .
Griffits dan Howson (l974) membagi sejarah perkembangan matematika. menjadi empat tahap, Tahap yang pertama dimulai dengan matematika yang berkembang pada peradaban Mesir Kuno dan daerah sekitarnya seperti Babylonia dan Mesopotamia. Waktu itu matematika telah dipergunakan dalam perdagangan, pertanian, bangunan dan usaha mengontrol  alam seperti banjir. Para Pendeta Mesir Kuno mempunyai keahlian dalam bidang matematika yang sangat dihargai dalam masyarakat yang mengaitkan aspek praktis dari matematika dengan aspek mistik dari keagamaan. Di samping kegunaan praktis ini maka aspek estetik juga dikembangkan dimana matematika merupakan kegiatan intelektual dalam kegiatan berpikir yang penuh kreatif. Walaupun demikian dalam kebudayaan Mesir Kuno ini maka aspek praktis dari matematika inilah merupakan tujuan utama, Hal yang sama juga berlangsung dalam peradaban di Mesopotamia dan Babylonia yang turut mengembangkan kegunaan praktis dari matematika.
Matematika mendapat momentum baru dalam peradaban Yunani yang sangat memperhatikan aspek estetik dari matematika. Dapat dikatakan bahwa peradaban Yunani ini yang meletakkan dasar matematika sebagai cara berpikir rasional dengan menetapkan beberapa langkah dan definisi tertentu. Euclid pada 300 SM mengumpulkan semua pengetahuan ilmu ukur dalam bukunya Elements dengan penyajian secara sistematis dari berbagai ponsulat, definisi dan teorema. Kaum cendekiawan Yunani, terutama mereka yang kaya mempunyai budak belian yang mengerjakan pekerjaan yang kasar termasuk hal-hal yang praktis termasuk melakukan pengukuran. Dengan demikian maka kaum cendekiawan dapat memusatkan perhatiannya pada aspek estetik dari matematika yang merupakan simbol.
Babak perkembangan matematika selanjutnya terjadi di Timur di mana pada sekitar tahun 1000 bangsa Arab, India, dan Cina mengembangkan ilmu hitung dan aljabar. Mereka mendapatkan angka nol dan cara penggunaan desimal serta mengembangkan kegunaan praktis dari ilmu hitung dan aljabar tersebut. Waktu perdagangan antara Bangsa Timur dan Bangsa Barat berkembang pada Abad Pertengahan maka ilmu hitung dan aljabar ini telah dipergunakan dalam transaksi pertukaran. Gagasan-gagasan orang Yunani dan penemuan ilmu hitung dan aljabar itu dikaji kembali dalam zaman Renaissance yang meletakkan dasar bagi, kemajuan matematika modern selanjutnya. Ditemukanlah di antaranya kalkulus differential yang memungkinkan kemajuan ilmu yang cepat di abad ke – 17 dan revolusi industri abad ke – 18.
Bagi dunia keilmuan matematika berperan sebagai bahasa simbolik yang memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat. Matematika dalam hubungannya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peranan ganda, kata Fehr, yakni sebagai ratu dan sekaligus pelayanan ilmu. Di satu pihak, sebagai ratu matematika merupakan bentuk tertinggi dari logika, sedangkan di lain pihak, sebagai pelayan matematika memberikan bukan saja sistem pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga pernyataan-pernyataan dalam bentuk model matematik. Matematika bukan saja menyampaikan informasi secara jelas dan tepat namun juga singkat. Suatu rumus yang jika ditulis dengan bahasa verbal memerlukan kalimat yang banyak sekali, di mana makin banyak kata-kata yang dipergunakan maka makin besar pula peluang untuk terjadinya salah informasi dan salah interprestasi, maka dalam bahasa matematik cukup ditulis dengan model yang sederhana sekali. Matematika sebagai bahasa mempunyai ciri, sebagaimana dikatakan Morris Kline, bersifat ekonomis dengan kata-kata.
Sebagaimana sarana ilmiah maka matematika itu sendiri tidak mengandung kebenaran tentang sesuatu yang bersifat faktual mengenai dunia empiris. Matematika merupakan alat yang memungkinkan ditemukannya serta dikomunikasikannya kebenaran ilmiah lewat berbagai disiplin keilmuan. Kriteria kebenaran dari matematika adalah konsistensi dari berbagai postulat, definisi dan berbagai aturan permainan lainnya. Untuk itu maka matematika sendiri tidak bersifat tunggal, seperti juga logika, melainkan bersifat jamak. Misalnya dengan mengubah salah satu ponsulatnya maka dapat dikembangkan sistem matematika yang baru bila dibandingkan dengan sistem sebelumnya. Semula memang dianggap bahwa hanya terdapat Satu sistem matematika dimana perubahan-perubahan dari postulat-postulatnya akan mengakibatkan terjadinya inkonsistensi. Namun hal ini ternyata tidak benar sebagaimana terjadi dengan ilmu ukur Euclid, Perubahan salah satu postulat Euclid tersebut yang semula berbunyi “Dari satu titik di luar sebuah garis hanya dapat ditarik satu garis sejajar dengan garis tersebut yang jumlahnya tak terhingga”. Ternyata tidak menimbulkan inkonsistensi malahan menimbulkan sistem matematika baru yang sama sekali berbeda dengan ilmu ukur Euclid. Sistem matematika yang Baru ini dikenal sebagai ilmu Ukur Non-Euclid yang sudah dikemukakan oleh Gauss (1777 -1855) pada tahun 19792 dikembangkan oleh Lobachevskii ( 1793-1856), Bolyai ( 1802- 1860) dan Riemann (1826-1866).21) Ilmu Ukur Non-Euclid ini mulanya hanya merupakan sesuatu yang bersifat akademis dan baru menemukan kegunaannya ketika Einstein menyusun Teori Relativitas.
Adanya dua sistem ilmu ukur yang keduanya bersifat konsisten ini bukan berarti bahwa sistem Ilmu Ukur Euclid atau Ilmu Ukur Non-Euclid ini bersifat benar Atau salah sebab hal ini harus dilihat dalam perspektif ruang dan waktu. Matematika bukanlah merupakan pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan cara berpikir untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. Kalau obyek yang ditelaah itu mempunyai ciri-ciri yang cocok dengan postulat Euclid umpamanya dalam bidang mekanika klasik Newton maka jelas bahwa ilmu ukur non-Euclid ini tidak dapat dipakai. Sedangkan dalam pengkajian mengenai alam semesta, di mana cahaya menjadi garis- lengkung bersama tarikan gravitasi dan jarak terdekat antara dua obyek tidak lagi merupakan garis lurus, maka dalam hal ini kita berpaling kepada ilmu ukur non-Euclid. Jadi kedua sistem ilmu ukur ini berlaku tergantung dari postulat yang dipergunakannya.




3.                    Intuisi Sebagai Dasar Matematika
Menurut Immanuel Kant pemahaman maupun konstruksi matematika diperoleh dengan cara terlebih dulu menemukan intuisi murni pada akal atau pikiran kita. Matematika yang bersifat sintetik a priori dapat dikonstruksi melalui 3 tahap intuisi yaitu intuisi penginderaan, intuisi akal, dan intuisi budi. Intuisi penginderaan terkait dengan obyek matematika yang dapat dicerap sebagai unsur a posteriori. Intuisi akal mensintetiskan hasil intuisi penginderan ke dalam intuisi ruang dan waktu. Dengan intuisi budi rasio kita dihadapkan pada putusan-putusan argumentasi matematika.
Menurut Kant matematika merupakan suatu penalaran yang berifat mengkonstruksi konsep-konsep secara synthetic a priori dalam konsep ruang dan waktu. Intuisi keruangan dan waktu secara umum yang pada akhirnya dianggap mendasari matematika, Oleh karena itu, Kant berpendapat bahwa matematika dibangun di atas intuisi murni yaitu intuisi ruang dan waktu dimana konsep-konsep matematika dapat dikonstruksi secara sintetis. Intuisi murni tersebut merupakan landasan dari semua penalaran dan keputusan matematika. Jika tidak berlandaskan intuisi murni maka penalaran tersebut tidaklah mungkin. Menurut Kant matematika sebagai ilmu adalah mungkin jika kita mampu menemukan intuisi murni sebagai landasannya; dan matematika yang telah dikonstruksinya bersifat sintetik a priori.
Menurut Kant, intuisi, dengan macam dan jenisnya yang telah disebutkan di atas, memegang peranan yang sangat penting untuk mengkonstruksi matematika sekaligus menyelidiki dan menjelaskan bagaimana matematika dipahami dalam bentuk geometri atau arithmetika. Pemahaman matematika secara transenden melalui intuisi murni dalam ruang dan waktu inilah yang menyebabkan matematika adalah mungkin sebagai ilmu.








BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
1.        Untuk melakukan kegiatan ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa bahasa, matematika dan statistika.
2.        Sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik.
3.        Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain
4.        Matematika melambangkan serangkaian makna dari pernyataan-pernyataan yang ingin kita sampaikan menjadi simbol-simbol.
5.        Statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengukuran. 











DAFTAR PUSTAKA

   Dra. Ny. A Subantari R, Drs. Amas Suryadi. Drs. K. Zainal Muttaqin. “Bahasa Indonesia dan Penyusunan Karangan Ilmiah.” Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, 1998.
      Suriasumantri, Jujun S. “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer” Jakarta:Pustaka Sinar Harapan,200
Diriku, Matematika, Filsafat dan Perspektif dalam Ruang dan waktu diakses dari: http://pro-edukasi.blogspot.com/2012/09/diriku-matematika-pendidikan-dan.html

____Filsafat Matematika. Diakses dari: http://plato.stanford.edu/entries/philosophy-mathematics/

Bertens. (1974). History of  Philosophy Yunani . Yogyakarta: Kanisius

Higgins, Katlens and Robert Salomon. 1996. Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Bentang

Marsigit.  Peran Intuisi dalam Matematika Menurut Immanuel Kant. Makalah Kom. Nas. Mat. Semarang diakses dari  


Sadulloh, Uyyoh. 2011. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: AlfaBeta.

Suria, Sumantri. (2003). Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

 



0 comments:

Post a Comment