BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
The
Capability Maturity Model (CMM)
adalah framework untuk mengukur tingkat “kematangan”
pengembangan sistem informasi dan manajemen proses dan produk suatu organisasi.
CMM terdiri dari lima tingkat perkembangan.
Framework CMM untuk sistem dan perangkat lunak informasi
bermaksud untuk membantu organisasi meningkatkan ”kematangan” dari proses
pengembangan sistem. CMM dibagi menjadi lima tingkatan ”kematangan” yang
mengukur kualitas dari proses pengembangan sistem dan perangkat lunak
organisasi (setiap level menjadi pra-syarat bagi level sesudahnya).
1.2
Rumusan
Masalah
1.3
Batasan
Masalah
1.4
Tujuan
1.5
Manfaat
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1
Landasan
Teori
The Capability Maturity Model (CMM) adalah framework untuk
mengukur tingkat “kematangan” pengembangan sistem informasi dan manajemen
proses dan produk suatu organisasi. CMM terdiri dari lima tingkat perkembangan.
Framework CMM untuk sistem dan
perangkat lunak informasi bermaksud untuk membantu organisasi meningkatkan
”kematangan” dari proses pengembangan sistem. CMM dibagi menjadi lima tingkatan
”kematangan” yang mengukur kualitas dari proses pengembangan sistem dan
perangkat lunak organisasi (setiap level menjadi pra-syarat bagi level
sesudahnya).
Nilai-nilai yang dilihat dalam
pengukuran CMM antara lain: (1) Apa yang akan diukur (Parameter); (2) Bagaimana
cara mengukurnya (Metode); (3) Bagaimana standar penilaiannya (Skala
penilaian); (4) Bagaimana Interpretasinya (Bagi Manusia).
2.2 Pengertian CMM
Capability Maturity Model disingkat CMM Merupakan
mekanisme kualifikasi sebuah software development house yang dapat
memberikan gambaran tentang kemampuan perusahaan tersebut dalam melakukan development
software. Dalam arti lain, Capability Maturity Model disingkat CMM adalah
suatu model kematangan kemampuan (kapabilitas) proses yang
dapat membantu pendefinisian dan pemahaman proses-proses suatu organisasi.
Pengembangan model ini dimulai pada tahun 1986 oleh SEI (Software
Engineering Institute) Departemen Pertahanan Amerika Serikat di Universitas Carnegie Mellon di Pittsburgh, Amerika
Serikat.
CMM awalnya ditujukan sebagai suatu alat untuk secara objektif menilai
kemampuan kontraktor pemerintah untuk
menangani proyek perangkat
lunak yang diberikan. Walaupun berasal dari bidang pengembangan perangkat
lunak, model ini dapat juga diterapkan sebagai suatu model umum yang membantu
pemahaman kematangan kapabilitas proses organisasi di berbagai bidang.
Misalnya rekayasa perangkat lunak, rekayasa sistem, manajemen
proyek, manajemen risiko, teknologi informasi, serta manajemen sumber daya manusia.
Secara umum, maturity model biasanya memiliki ciri
sebagai berikut:
1.
Proses pengembangan dari suatu organisasi disederhanakan
dan dideskripsikan dalam wujud tingkatan kematangan dalam jumlah tertentu
(biasanya empat hingga enam tingkatan)
2.
Tingkatan kematangan tersebut dicirikan dengan
beberapa persyaratan tertentu yang harus diraih.
3.
Tingkatan-tingkatan yang ada disusun secara
sekuensial, mulai dari tingkat inisial sampai pada tingkat akhiran (tingkat
terakhir merupakan tingkat kesempurnaan)
4.
Selama pengembangan, sang entitas bergerak maju dari
satu tingkatan ke tingkatan berikutnya tanpa boleh melewati salah satunya,
melainkan secara bertahap berurutan.
Definisi Harafiah
1.
Capability : menjadi kapabilitas yang berarti kemampuan
yang bersifat laten. Capability lebih mengarah kepada integritas daripada
kapabilitas yang berarti itu sendiri.
2.
Maturity : matang / dewasa . Matang merupakan hasil
proses, sedangkan dewasa merupakan hasil dari pertumbuhan.
Model : suatu
penyederhanaan yang representatif terhadao keadaan di dunia nyata
·
Tujuan CMM
Tujuan penggunaan CMM
adalah membuat ujian saringan masuk BAGI KONTRAKTOR YANG MENDAFTARKAN DIRI
UNTUK MENJADI KONSULTAN.
·
Nilai-nilai yang
dilihat dalam pengukuran CMM
1.
Apa yang diukur ( parameter )
2.
Bagaimana cara mengukurnya ( metode )
3.
Bagaimana standar penilaiannya ( skala penilaian )
4.
Bagaimana interpretasinya ( bagi manusia )
·
Kegunaan CMM
1.
Untuk menilai tingkat kematangan sebuah organisasi
pengembang perangkat lunak.
2.
Untuk menyaring kontraktor yang akan menjadi
pengembang perangkat lunak
3.
Untuk memberikan arah akan peningkatan organisasi bagi
top management di dalam sebuah organisasi pengembang perangkat lunak.
4.
Sebagai alat bantu untuk menilai keunggulan kompetitif
yang dimiliki sebuah perusahaan dibandingkan perusahaan pesaingnya.
·
Tahapan dalam CMM
1. Initial Level
Level ini hiasa
disebut anarchy atau chaos. Pada pengembangan sistem ini masing –
masing developer menggunakan peralatan dan metode sendiri. Berhasil atau
tidaknya tergantung dari project teamnya. Project ini seringkali
menemukan saat – saat krisis, kadang kelebihan budget dan di belakang rencana.
Dokumen sering tersebar dan tidak konsisten dari satu project ke project
lainnya. Level initial bercirikan sebagai berikut :
•
Tidak adanya manajemen proyek
•
Tidak adanya quality assurance
•
Tidak adanya mekanisme manajemen perubahan (change
management)
•
Tidak ada dokumentasi
•
Adanya seorang guru/dewa yang tahu segalanya tentang
perangkat lunak yang dikembangkan.
•
Sangat bergantung pada kemampuan individual
2. Repeatable level
Proses project
management dan prakteknya telah membuat aturan tentang biaya projectnya, schedule,
dan funsionalitasnya. Fokusnya adalah pada project management bukan pada
pengembangan sistem. Proses pengembangan sistem selalu diikuti, tetapi akan
berubah dari project ke project. Sebuah konsep upaya dibuat untuk
mengulang kesuksesan project dengan lebih cepat. Level Repeatable
bercirikan sebagai berikut :
•
Kualitas perangkat lunak mulai bergantung pada proses
bukan pada orang
•
Ada manajemen proyek sederhana
•
Ada quality assurance sederhana
•
Ada dokumentasi sederhana
•
Ada software configuration managemen sederhana\
•
Tidak adanya knowledge managemen
•
Tidak ada komitment untuk selalu mengikuti SDLC dalam
kondisi apapun
•
Tidak ada statiskal control untuk estimasi proyek
•
Rentan terhadap perubahan struktur organisasi.
3. Defined level
Standard proses
pengembangan sistem telah dibeli dan dikembangkan dan ini telah digabungkan
seluruhnya dengan unit sistem informasi dari organisasi. Dari hasil penggunaan
proses standard, masing–masing project akan mendapatkan hasil yang konsisten
dan dokumentasi dengan kualitas yang baik dan dapat dikirim. Proses akan
bersifat stabil, terprediksi, dan dapat diulang. Level Defined bercirikan :
•
SDLC sudah dibuat dan dibakukan
•
Ada komitmen untuk mengikuti SDLC dalam keadaan apapun
•
Kualitas proses dan produk masih bersifat kwalitatif
bukan kualitatif (tidak terukur hanya kira-kira saja)
•
Tidak menerapkan Activity Based Costing
•
Tidak ada mekanisme umpan balik yang baku
4.
Managed level
Tujuan yang terukur untuk
kualitas dan produktivitas telah dibentuk. Perhitungan yang rinci dari standard
proses pengembangan sistem dan kualitas produk secara rutin akan dikumpulkan
dan disimpan dalam database. Terdapat suatu usaha untuk mengembangkan
individual project management yang didasari dari data yang telah terkumpul.
Level Managed bercirikan :
•
Sudah adanya Activity Based Costing dan dan digunakan
untuk estimasi untuk proyek berikutnya
•
Proses penilaian kualitas perangkat lunak dan proyek
bersifat kuantitatif.
•
Terjadi pemborosan biaya untuk pengumpulan data karena
proses pengumpulan data masih dilakukan secara manual
•
Cenderung bias. Ingat efect thorne, manusia ketika
diperhatikan maka prilakunya cenderung berubah.
•
Tidak adanya mekanisme pencegahan defect
•
Ada mekanisme umpan balik
5.
Optimized level
Proses pengembangan sistem yang
distandardisasi akan terus dimonitor dan dikembangkan yang didasari dari
perhitungan dan analisis data yang dibentuk pada level 4. Ini dapat termasuk
perubahan teknologi dan praktek – praktek terbaik yang digunakan untuk
menunjukkan aktivitas yang diperlukan pada standard proses pengembangan sistem
. Level Optimized bercirikan :
•
Pengumpulan data secara automatis
•
Adanya mekanisme pencegahan defect
•
Adanya mekanisme umpan balik yang sangat baik
•
Adanya peningkatan kualitas dari SDM dan peningkatan
kualitas proses.
2.3 Tingkatan CMM
Mungkin
ada yang bertanya, bagaimana sebenarnya tingkatan kemampuan yang mungkin
dimiliki oleh sebuah organisasi sebagai hasil assessment terhadap penerapan
tata kelola TI-nya.
Untuk
menjawab hal tersebut sebaiknya kita lihat tingkatan yang mungkin dimiliki oleh
sebuah organisasi sebagai berikut:
1.
Level 0: incomplete process
Organisasi
pada tahap ini tidak melaksanakan proses-proses TI yang seharusnya ada atau
belum berhasil mencapai tujuan dari proses TI tersebut.
2.
Level 1: performed process
Organisasi pada tahap ini telah berhasil
melaksanakan proses TI dan tujuan proses TI tersebut benar-benar tercapai.
3.
Level 2: managed process
Organisasi pada tahap ini dalam melaksanakan
proses TI dan mencapai tujuannya dilaksanakan secara terkelola dengan baik.
Jadi ada penilaian lebih karena pelaksanaan dan pencapaiannya dilakukan dengan
pengelolaan yang baik. Pengelolaan di sini berarti pelaksanaannya melalui
proses perencanaan, evaluasi dan penyesuaian untuk ke arah yang lebih baik
lagi.
4.
Level 3: established process
Organisasi pada tahap ini memiliki
proses-proses TI yang sudah distandarkan dalam lingkup organisasi keseluruhan.
Artinya sudah ada standard proses TI tersebut yang berlaku di seluruh lingkup
organisasi tersebut.
5.
Level 4: predictable process
Organisasi pada tahap ini telah menjalan kan
proses TI dalam batasan-batasan yang sudah pasti, misal batasan waktu. Batasan
ini dihasilkan dari pengukuran yang telah dilakukan pada saat pelaksanaan
proses TI tersebut sebelumnya.
6.
Level 5: optimizing process
Pada tahap ini organisasi telah melakukan
inovasi-inovasi dan melakukan perbaikan yang berkelanjutan untuk meningkatkan
kemampuannya.
Demikian sekilas gambaran mengenai penerapan tata kelola
TI berdasarkan COBIT 5 dan tingkatan pencapaian penerapannya.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
3.2
Saran
0 comments:
Post a Comment